Apabila harus ditentukan waktu kapan saya mulai merokok, dengan sangat mudah saya akan menjawab: sejak kecil, tepatnya ketika saya berumur tiga tahun. Tapi saat itu saya bukanlah seorang penikmat rokok. Hanya anak ingusan yang senang melihat kakeknya melinting tembakau menggunakan daun kawungnya.
Rasa kepenasaran juga yang membuat saya ikut-ikutan kebiasaan kakek saya itu. Saya coba melinting walau selalu saja gagal. Entah mengapa melinting menggunakan daun kawung atau bahkan pahpir (paper –kertas rokok yang dijual terpisah) bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Butuh keahlian untuk itu sampai pada akhirnya kita bisa benar-benar mencicipi rokoknya. Jika sudah seperti itu, saya pun hanya menyulut daun kawungnya saja dan mulai menyenangi setiap embusan asap yang terbang ke udara.
Saya pun sempat iseng-iseng mencoba menghirup rokok yang adakalanya tergeletak di ujung asbak ditinggal pergi kakak-kakak saya. Saat itu, asap tak lebih dari asap. Tidak ada sama sekali kenikmatan yang saya rasakan ketika menghirup rokok. Mungkin, seperti halnya anak kecil, saya hanya bisa coba-coba saja tanpa tahu sepert apa nikmatnya merokok. Sampai pada akhirnya, di saat saya masuk ke sebuah komunitas sastra di kampus, saya benar-benar mulai intens merokok. Menyeriusi rokok.
Adalah Nur Karunia, teman kelas kuliah yang pada awalnya menawari saya rokok. Sebelumnya, saya memperhatikan betapa nikmatnya dia menghirup dan mengembuskan asap rokok ke udara. Benar-benar dihayatinya. Begitu tenang dan santi sepertinya. Dan memang, dia punberkata jika rokok sedikt lebih mengurangi beban hidup dengan seabreg masalah yang setiap hari kita hadapi. Saya pun mencoba memberanikan diri untuk terang-terangan merokok. Saat itu kami membikin asap rokok di secretariat Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Pendidikan. Sebuah himpunan yang dikenal dengan nama kandang macannya. Malam yang romantic pikir saya. Ketika mahasiswa sudah pada pulang sedang kami harus terus bertugas dengan tugas dan kewajiban sebagai anggota himpunan, rokok menciptakan rasa damai dan tentram. Itu yang saya rasakan.
Arun, begitu dia dipanggil, berkata bahwa rokok paling nikmat dinyalakan sesudah makan. Tapi rokok juga jadi teman ngobrol terlebih jika ada segelas kopi. Kopi hitam. Keakraban bisa tercipta di sana, kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja. Seperti sebuah adat yang tidak pernah dituliskan di kertas manapun, perkenalan yang diawali dengan rokok seringkali menjadi perkenalan yang hangat dan terbuka. Mungkin karena kita adalah sama-sama pecinta rokok. Menghirup dan mengembuskan asap yang sama.
Pada saat itu, saya sendiri hanya merokok di dalam kamar kosan. Bukannya tidak berani terang-terangan di area terbuka, hanya saja karena saya menggunakan rokok tak lebih dari teman pengantar inspirasi di saat membaca, khususnya menulis. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi asap rokok yang dihirup dan diembuskan seringkali memudahkan saya untuk mendapatkan ide yang bisa dengan seketika saya tuangkan dalam tulisan. Dan kebetulan, saat itu saya tengah rajin-rajinnya bergiat di komunitas sastra Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Makin sering saya menulis, maka makin sering asap yang saya perlukan. Asap itu saya kepulkan ke udara di kosan dan di saat tengah berkumpul bertaman para calon sastrawan di komunitas tersebut. Tak lebih dari dua tempat itu.
Suatu hari, Arun membawa sebungkus rokok Jepang dan menawarkannya pada saya. Sungguh rasa yang berbeda. Rasa rokok Jepang ternyata tidak jauh beda dengan rokok-rokok buatan Amerika. Hanya memang, ada kekhasan tersendiri dari asap yang dihasilkannya. Asapnya lebih tebal dengan aroma yang cukup lembut di hidung. Kami pun mengembuskan asap rokok itu berdua saja di himpunan.
Dari peristiwa itu, ada semacam keinginan saya untuk juga merasakan bagaimana rasa rokok yang lain. Saya pun mulai membeli rokok dengan merek yang berbeda di setiap kesempatan. Saya coba berbagai macam rokok kretek, filter, bahkan cerutu baik buatan asli Indonesia, Amerika, bahkan sampai buatan Korea. Mungkin karena pada saat itu literatur saya tentang rokok belum begitu banyak, pilihan pula jatuh pada roko putih dengan kandungan nikotin yang terbilang rendah, yaitu Sampoerna A Mild.
Walau sudah mencicipi begitu banyak rokok dengan merek yang berbeda, saya masih saja belum bisa membedakan mana yang enak dan mana yang tidak. Sampai suatu waktu, ketika saya mencoba sebatang rokok Djarum Super, ada kenikmatan lain yang saya rasakan. Betul kata peribahasa yang saya buat: Sesuatu yang pada awalnya dibenci, bisa menjadi sesuatu yang lebih dekat dengan kita.
Entah bagaimana saya bisa berkata bahwa Djarum Super itu nikmat, lebih nikmat dari rokok-rokok yang pernah saya coba, setidaknya bagi saya. Padahal, ketika kecil, saya tidak pernah suka dengan rokok ini. Rokok yang menjadi favorit Kakak. Betapa tidak? Rokok itu cukup panang ukurannya, ungkusnya juga merah menyala, mencolok mata, dengan plat hitam di kanak-kirinya. Tapi ketika caya mencobanya sendiri, saya baru bisa merasakan kenikmatannya. Nikmat memang tidak bisa bohong. Dan semenjak itulah saya memilih rokok Djarum Super sebagai amunisi ide sekaligus doping saya, sampai detik ini.
Komentar
Posting Komentar