Sudah cukup lama sebenarnya saya menyimpan hipotesa ini di kepala. Sebuah pertanyaan yang cenderung menjadi sebuah pernyataan berbunyi: Bilamanakah rokok menjadi indikator kesejahteraan masyarakat Indonesia?
Ternyata, beberapa waktu lalu pertanyaan itu pun terjawab sudah.
Sebagai buruh honorer di salah satu dinas pemerintahan di kota Purwakarta, saya bertugas di posisi yg strategis yakni sebagai staff Kasubag Perencanaan dan Pelaporan. Posisi yang hanya dalam hitungan bulan sudah mengetahui bagaimama cara kerja orang-orang di pemerintahan kota termasuk kondisi sosial, ekonomi dan budaya kota. Yang tak kalah penting, posisi ini pun menjadikan saya memiliki banyak jaringan, baik secara internal maupun eksternal.
Cerita saya dimulai beberapa minggu ke belakang dimana saya harus mengikuti Bimbingan Teknis sebagai operator pemetaan kemiskinan tingkat kabupaten kota. Selama dua hari berturut-turut saya harus mengikuti banyak materi yang disampaikan oleh perwakilan dari Bappenas (kebetulan dosen yang mengajar di tempat saya kuliah dulu: UPI) dari pagi sampai sore. Padahal saat itu keadaan tengah payah-payahnya alamat sedang puasa. Materi yang kebanyakan merupakan aplikasi/instrumen pengiputan data, sungguh-sungguh menguras tenaga dan pikiran. Kepala diperas sedang tubuh tak berada. Bayangkan saja, materi yang harusnya disampaikan dalam waktu lima hari, harus dipadatkan menjadi dua hari saja.
Di hari pertama saya sangka saya hanya akan mengerjakan penginputan data untuk satu instrumen saja. Nyatanya, kemiskinan berkaitan dengan banyak aspek lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan banyak lagi. Otomatis, akan ada banyak isian instrumen sekaligus aplikasi yg harus saya hadapi. Akan tetapi, itu hanya dongeng saja dan saya pun hanya berakting, tepatnya dituntut untuk berakting, tanpa intstruksi tersurat, oleh pemateri karena yakin bahwa secara teknis pendataan kemiskinan sendiri dilakukan di tingkat kecamatan oleh core-core kecil sebelum sampai ke tingkat kabupaten kota menjadi kumpulan data. Ah, namanya juga agenda pemerintah, apa sih yang tidak bisa?
Di hari pertam Bintek, saya dikejutkan dengan data yanh dibawa oleh pemateri, diperlihatkan lewat slide show di ruang aula. Di sana tampak dengan jelas bahwa salah satu kontributor kemiskinan kedua setelah beras, baik di perkotaan maupun di pedesaan, bukanlah tepung terigu atawa gula pasir atawa minyak, melainkan rokok! Ya, rokok! Sebanyak 7-8 persen rokok mengalahkan komoditi utama bernama sembako yang jelas-jelas merupakan kebutuhan primer masyarakat Indonesia. Jujur, saya tercengang menyaksikannya, seraya menganggung di dalam hati bahwa hipotesa saya bukanlah isapan jempol belaka.
Pada saat yang sama saya teringat dengan banyak anekdot perihal rokok. Beberapa anekdot yang sering sekali dilemparkan oleh orang-orang bukan perokok yang suka berseloroh dan merendahkan rokok termasuk konsumennya. "Uang dibakar-bakar, mendingan dikumpulin, bisa beli motor nanti," begitu kira-kira bunyinya. Atau pernyataan yang tak sampai bikin kita tertawa tentang bagaimana mereka membandingkan harga sebungkus rokok yang dikonsumsi per harinya dengan barang lain yang lebih berharga, rumah contohnya. Apapun yang orang-orang katakan, kita sudah tahu bakal ke mana arahnya, dan kita tak peduli.
Pasalnya, menilai rokok tak bisa hanya berpatokan pada satu aspek saja, seperti halnya aspek ekonomi atau kesehatan. Kita tahu bahwa ada aspek yang lain semisal sosial, budaya tradisi, sejarah, politik, geografi, bahkan pendidikan. Maka dari itu, omong kosong besar soal pemerintah yang akan menaikan harga rokok menjadi 50 ribu rupiah sebungkusnya beberapa waktu yang lalu. Memangnya pajak terbesar yang bikin pemerintah masih bisa hidup dari mana kalau bukan dari rokok? Triliyuna jumlah uang yang dibayarkan satu perusahaan rokok pada pemerintah tiap tahunnya. Dan itu menjadi alasan yang cukup bagi perusahaan rokok untuk terus beroperasi dan mempekerjakan ribuan buruhnya.
Begitulah. Dari data yang saya dapat dan mengubungkan hipotesa saya yang jelas terjawab, saya kembali berpikir: Jika memang rokok menjadi juara dua komoditi pendukung kemiskinan di negeri ini, tidakkah itu sama saja artinya dengan berkata bahwa ketika masyarakat kita masih merokok, maka masih kayalah kita? Bukankah ada anekdot yang acap kita dengar perihal orang yang lebih baik tidak makan dari pada tidak merokok? Untuk hal ini saya pikir, tak ada salahnya kita berkata jika rokok ternyata bisa dijadikan salah satu faktor kesejahteraan seseorang. Bahkam kalo mau kesejahteraan bangsa. Terbukti bahwa orang-orang lebih memilih rokok ketimbang tepung terigu atau gula pasir yang merupakan sembako.
Perihal rokok dan merokok, kita para perokok sudah sangat mafhum. Sudah sangat tahu resikonya, terlebih mereka yang memang mengerti etika merokok. Jadi, sudahlah mereka yang bukan perokok jangan terlalu banyak bicara. Iklan di TV sudah tidak ada, dan pemerintah kita yang plin-plan punya banyak strategi untuk mengentikam orang-orang merokok, sekalipun di sisi lain mereka menelan ludahnya sendiri. (Saya curiga yang melarang merokok juga ternyata merokok).
Untuk yang terakhir saya ingin berkata: Bukankah kematian akan mejemput juga pada akhirnya, entah itu karena rokok ataupun bukan? Masalahnya adalah, tidakkah sayang namanya jika kita harus kehilangan kesenangan dan kebahagiaan dunia hanya karena tak bisa menghirup asap rokok? Jika benar, lalu kesenangan dan kebahagian macam apa lagi yang bisa kita dapat dari selain itu?
Ck, ah, hidup-hidup Anda. Anda sendiri yang menentukan. Tak penting pilihan, yang penting adalah Anda tahu resikonya dan bertanggung jawab atas pilihan yang Anda pilih itu. Selamat mengasap! (AN)
Komentar
Posting Komentar